Rabu, 30 Desember 2015

Kalau dulu Bung Karno bilang, “Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia.” Sekarang kita bilang, “Beri aku satu remaja, pusing awak dibuatnya.”



Walau tulisannya lumayan panjang, kukira ini salah satu kunci jawaban
permasalahan parenting (mendidik anak). Semakin dibaca semakin ngena.
Penasaran dg buku2 beliau.

===================================

Mengaqil baligh-kan anak


Materi pertama dari Psikolog lulusan UI, Drs. Adriano Rusfi, S.Psi atau
yang sering di sapa Bang Aad. Beliau menyampaikan materi Melahirkan
Generasi Aqil Baligh untuk Peradaban Indonesia yang Lebih Hijau dan
Lebih Damai.

Konsultan SDM dan Pendidikan Independen yang pernah
menjadi Pimpinan Umum Majalah Ummi ini membuka materi dengan pertanyaan:
“Apa yang membuat anak-anak kita tertarik dengan ISIS atau NII? Mengapa
seorang anak usia 13 tahun bisa mengendarai mobil balap dan menewaskan
banyak orang? Mengapa tawuran? Mengapa pakai narkoba?”
Berdasarkan
pengalaman beliau bekerja pada BNN di bagian prevensi, penangkapan
ternyata hanya memiliki efek keberhasilan 2%. Bahkan rehabilitasi
tingkat keberhasilannya hanya 6%. Artinya jika 100 orang di
rehabilitasi, 94 orang akan kembali jadi pemakai.

Kalau dulu Bung
Karno bilang, “Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia.”
Sekarang kita bilang, “Beri aku satu remaja, pusing awak dibuatnya.”

Pemuda memang identik dengan semangat perubahan. Ini merupakan salah
satu penyebab mengapa pada masa Rasullullah, Islam lebih berkembang di
Madinah daripada di Mekah. Saat itu di Madinah lebih banyak penduduk
mudanya, dibandingkan dengan Mekah yang lebih banyak penduduk berusia
lanjutnya.

Di masa awal kemerdekaan, kita bisa lihat bagaimana
para pemuda seperti Bung Karno, HOS Cokroaminoto, dan lain-lain mampu
memimpin perundingan antar negara pada usia mudanya. Mereka menyerukan
sumpah pemuda untuk mempersatukan bangsa. Tercatat dalam sejarah
bagaimana geniusnya mereka memilih bahasa melayu yang egaliter sebagai
bahasa persatuan.
Lantas mengapa kualitas generasi muda kita menurun?
Konsep remaja


Istilah remaja itu adalah istilah yang dikenal pada akhir abad 19.
Sebelumnya tidak ada istilah itu. Dalam sebuah penelitian ilmiah pada
suku-suku terasing di Samoa, Papua, Baduy dalam, ciri-ciri keremajaan
itu tidak tampak pada masyarakat disana. Dalam dunia kedokteran hanya
ada istilah Pedagogi untuk anak dan Andragogi untuk Dewasa. Tidak ada
istilah remaja.

Remaja dalam fenomena sosial sekarang lebih
merupakan tragedi. Sebuah generasi banci sosial, tidak produktif, bahkan
konsumtif dan destruktif, bukan anak tapi belum dewasa.

Kalau anak minta duit, kita bilangnya “Kamu sudah besar, minta duit melulu”
Kalau anak minta kawin, kita bilangnya “Kamu masih kecil, sudah minta kawin”

Konsep remaja itu mendapat pembenaran ilmiah, sosial bahkan agama. Kita
jadi mengenal istilah remaja mesjid. Di sini lemahnya science yang
hanya bicara soal fakta. Jika dalam populasi ada 10% banci, maka kita
akan menyebutkan bahwa jenis kelamin itu ada 3. Demikian juga dengan
remaja, yang sebenarnya tidak ada.
Aqil Baligh dalam Islam


Islam mengenal istilah Aqil Baligh. Baligh adalah kedewasaan fisik,
sedangkan Aqil adalah kedewasaan mental. Masalah terjadi ketika Baligh
dan Aqil ini tidak sepaket. Baligh berhubungan dengan nutrisi. Para
bunda over sukses dengan memberi nutrisi pada anak, sehingga kini masa
baligh bisa terjadi pada usia sangat dini seperti 9 tahun.


Sedangkan Aqil berhubungan dengan kedewasaan mental, yang menurut teori
psikologi makin lama makin lambat munculnya. Kedewasaan mental kini
muncul di usia 22-24 tahun. Di sinilah masalah muncul. Kita pun mengenal
istilah remaja. Sudah Baligh tapi belum Aqil. Terciptalah periode
transisional dalam rentang yang panjang. Dalam Al Quran juga disebutkan
mengenai perlunya kita berlindung dari masa-masa transisi seperti ini.


Dalam Islam, Aqil dan Baligh disiapkan dalam 1 paket. Tidak bisa
dipisah-pisah. Paling lambat usia 15 tahun Aqil dan Baligh itu sudah
bisa tercapai. Bagaimana caranya? Siapa yang bertanggung-jawab
meng-aqilbaligh-kan anak?

Perlu dipahami bahwa penanggung jawab
utama pendidikan adalah ayah. Bukan bunda! Bunda adalah pelaksana
pendidikan. Dalam sejumlah referensi islami ditemukan tokoh parenting
yang terkenal adalah laki-laki.

Ada nama Lukmanul Hakim, seorang
budak berkulit hitam yang petuah-petuahnya untuk anak-anaknya menjadi
referensi parenting hingga kini. Namanya bahkan diabadikan dalam Al
Quran.
Saat ini, sebagai korban revolusi industri, para ayah menjadi
sekedar buruh. Jangan berlindung dibalik kualitas, padahal kuantitas
kurang. Tidak ada kualitas tanpa kuantitas yang cukup.

Bersama
para pakar parenting lain, Bang Aad terpikir juga untuk menciptakan
model ayah bekerja cukup dengan 4 jam sehari, sehingga memiliki waktu
lebih untuk mendidik anak-anaknya. Tapi jangan juga jadi ayah yang
serakah. “Kalau 4 jam saya dapat 30 juta, berarti dalam 8 jam bisa dapat
60 juta nih.”
Terkadang para Ayah pulang bawa gaji, “Ini uang bulan
ini, cukup-cukupin ya.” Lantas petantang petenteng seolah bisa menjajah
seisi rumah karena merasa pencari nafkah.

Salah satu masalah
berat dalam rumah tangga adalah tanggung jawab pendidikan anak, bukan
urusan cari uang. Makanya pikir matang-matang kalau mau berpoligami.


Tugas pengajaran bisa didelegasikan ke sekolah, namun tugas pendidikan
tetap di rumah. Sekolah tidak bisa dijadikan tulang punggung pendidikan
anak. Sekolah berasal dari bahasa latin Schole yang artinya waktu luang.
Jadi dari sejarahnya, sekolah adalah sekedar kegiatan mengisi waktu
luang disela-sela kegiatan utama mereka bermain menghabiskan masa
anak-anak mereka. Kini sekolah menjadi salah kaprah dengan berubah
sebagai kegiatan utama tempat orang tua buang anak. Sehingga orang
tua-nya bisa tenang mencari uang untuk bayar sekolah. Sebuah ironi.

Jadikan dalam satu paket, cintai kebenaran dan benci pada kebatilan. Jangan dipisah-pisah.
Kenapa sholat rajin, buang sampah sembarangan juga rajin?
Kenapa puasa senin-kamis, zina juga senin kamis?
Ini karena kita sekedar melatih pembiasaan. Biasa sholat, biasa puasa, tapi tidak biasa buang sampah pada tempatnya.


Kita lebih mengutamakan ibadah dan ahlak, sementara akidah tertinggal
dibelakang. Ibadah dan ahlak ini yang menjadi jualan sekolah-sekolah
sekarang karena itu yang mudah terlihat dan terukur. Padahal yang
penting itu akidah atau pondasinya. Namanya juga pondasi, sering tidak
kelihatan pada awalnya.
Sekolah akan mengajarkan sholat, tapi tidak
bisa bertanggung jawab untuk kedewasaan anak. Terkadang terasa ada yang
aneh ketika mendengar komentar, “Tolong doakan anak saya yang baru lulus
dan sudah hafizd Quran, semoga mendapatkan pekerjaan.”
Pendidikan
kedewasaan itu memerlukan ikatan batin. Beda di elus oleh ibu dengan
dielus oleh guru. Saat dielus ibu, antibodi si anak bekerja.
Allah
menitipkan hikmah pada orang tua untuk anak-anaknya. Dan itu tidak bisa
didelegasikan pada siapapun. Dengan harga berapapun.

Saya jadi ingin menambahkan status facebook keren Bang Aad, 1 Desembar 2015 lalu,

Dulu, saat anak-anak temannya telah bisa membaca AlQur'an ketika
berusia 3 tahun, dia hanya berkisah pada anaknya tentang indahnya
AlQur'an
Dulu, saat anak-anak temannya telah terlatih shalat ketika
berusia 5 tahun, dia hanya bercerita pada anaknya betapa indahnya
perintah Allah
Dulu, saat anak-anak temannya telah hafal hadits
Arba'in ketika berusia 7 tahun, dia hanya berkisah pada anaknya tentang
indahnya Rasulullah
Kini, saat teman-temannya berkeluh-kesah tentang anak-anaknya, dia asyik terpesona menyaksikan indahnya Islam pada diri ananda

Libatkan anak dalam masalah


Pria kelahiran 1964 ini pernah punya status viral mengenai menikah.
Kalau kita masukkan nama Adriano Rusfi di Google, akan nongol tulisan
ini.

“Saya baru punya mobil usia 42 tahun. Rumah baru punya 2
tahun lalu, sebelumnya ngontrak”, kata lulusan psikologi UI kelahiran
tahun 1964 ini.
Dulu teman-temannya bilang, “Lu makanya yang fokus dong cari duit.”

Kalau sekarang teman-teman kagum dan bilang, “Lu bakatnya banyak banget
sih?” Bang Aad sekarang bisa membalas “Mungkin dulu Lu kecepetan fokus
sih.”
Generasi dewasa hijau perlu digerakkan hatinya, jangan hanya
otak. Akal sehat tidak identik dengan kecerdasan akademis. Perilaku
hijau adalah perilaku perduli pada sesama.

Salah satu cara yang
disampaikan Bang Aad adalah dengan tidak menyembunyikan masalah dari
anak. Rem masa baligh anak dengan membantu orang tua menyelesaikan
masalahnya.

Pada masa kecil Rasulullah ia adalah penggembala
ternak. Beliau melatih empatinya dengan memelihara binatang. Saat ini
kita bisa begitu alergi dengar kata ‘gembala’ atau bahkan ‘bunda’.
Padahal sebenarnya arti gembala itu adalah memuliakan, memakmurkan.


Jadi kurang tepat juga ketika mengatakan, “Biar Ayah saja yang
menderita, kamu belajar saja yang rajin.” Pria yang sempat mengurus
Sistem kaderisasi Mesjid Salman dan Orientasi Mahasiswa Baru ITB ini
menyebutkannya sebagai kalimat kurang ajar. Mengapa si ayah tidak
mengijinkan anaknya mengikuti jalan suksesnya? Tidak ada sejarahnya
orang sukses hanya dari gelimangan kemudahan.
“Supaya beban
finansial saya cepat beres, saya fokus meng-aqilbaligh-kan anak”. Anak
Bang Aad dari usia SMP sudah menjadi loper koran, membuka jasa servis
tamiya, membantu scoring lembar psikotest. Sehingga anak jadi timbul
empatinya.
Setiap permintaan akan dimulai dengan pertanyaan: “Abi ada duit nggak?”

Apapun yang anak minta harus 10% uang dia. Bang Aad cerita bagaimana
anaknya ingin sepeda motor. “Bebas boleh pilih yang mana saja, asal 10%
uang sendiri.” Anaknya jadi mikir juga. Yang 16 juta, harus ada 1,6
juta. Akhirnya si anak memilih yang 9 juta saja, karena merasa mampu
menyediakan 10%-nya. Abi senang, anak senang.

Konglomerat
Tionghoa itu sadis-sadis sama anaknya. Kalau anak mereka minta
macam-macam, jawabnya “Sudah bagus Bapak kasih segitu.” Kita saja yang
Melayu ini suka memanjakan anak. Bang Aad sempat bercerita tentang
tetangganya yang pengusaha kaya raya. Ketika hujan, ia memberikan payung
buat anaknya supaya jadi ojek payung.
Ketika anak sudah memasuki
usia aqil baligh, anak dikasih tahu. “Kamu ini sebenarnya sudah bisa
Ayah suruh pindah, tapi sekarang masih boleh tinggal dirumah. Hanya
statusnya numpang. Numpang makan, numpang tidur. Jadi tau diri lah
sebagai penumpang. Baik-baik sama tuan rumah.”
Ajari anak cari uang,
ajari anak berorganisasi. Libatkan anak dengan masalah. Anak mulai bisa
diajarkan kemandirian saat usia diatas 7 tahun.

“Setiap anak
dilahirkan dalam keadaan fitrah. Maka kedua orangtuanyalah yang akan
menjadikannya sebagai Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” Yakinlah setiap
anak sudah terlahir muslim. Itu sudah fitrahnya. Didik anak dengan penuh
optimis, tidak perlu rekayasa. Dan jangan lupa untuk meminta kepada
Allah melengkapi kekurangan kita dalam mendidik anak-anak.